Newest Post
// Posted by :CAN
// On :Minggu, 30 September 2012
pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita
miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal
di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah
lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain,
sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.
Pada suatu hari, si
Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia
ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia
pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang
sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon
si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si
Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan
emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak
Lancang mengizinkan.
Mendengar jawaban
dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan
dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja
sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku
melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal
oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti
meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih,
Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang
pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi
terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang.
Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh
berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di
dalam perjalanan nanti.”
Keesokan harinya, si
Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa
bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang. Bertahun-tahun sudah si Lancang di
rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki
berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun
cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun
jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.
Suatu hari si
Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka
berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami
membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang.
“Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambah istri Lancang
yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut.
“Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang.
Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan,
mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga
membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas
kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.
Sejak berangkat dari
pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain
musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si
Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai
…! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal. Penduduk di sekitar Sungai Kampar
berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih
mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang
kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau
dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu
memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang
terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya
hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang
juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia
bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian
yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak
satu-satunya di pelabuhan. Sesampainya di
pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si
Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya
itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si
Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si
Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi
dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak
si Lancang,” jelas perempuan tua itu.
Mendengar kegaduhan
di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya
tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari
kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia
malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah
emaknya. “Oh, Lancang …,
Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar
rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu
berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.”
Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku!”
Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga
terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula.
Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya
sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang
jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu
kepadanya. Sesampainya di
rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar
lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si
Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya,
dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya
kekuasaan-Mu!”
Dalam sekejap,
tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar
kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga
hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan,
sementara penduduk berlarian menjauhi sungai. “Emaaak…, si Lancang
anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang
di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si
Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu. Barang-barang yang
ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si
Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk
menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar
dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di
Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang
letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera
kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si
Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi
banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali
perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.
Sejak peritiwa itu,
masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan
oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya
tiang kapal si Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam
wilayah Propinsi Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun
Sungai Kampar meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam
pemukiman penduduk di sekitarnya.
Sumber: Disadur dari
Sabrur. R. Soenardi. Si Lancang. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
(tugas bahasa indonesia XI.IPS2 )